WALL-E, The Lorax, Greta Thunberg, Aeshnina Azzahra Aqilani, dan Kegagalan Kita Menghadapi Isu Lingkungan
Oleh : Rafly AkbarProgram Studi : Sastra Indonesia
“The planet is fine, the people are fucked”, kata seorang komedian Amerika Serikat di special show-nya, Jammin’ in New York (1992). Apakah kita benar-benar peduli dengan permasalahan planet ini? Bumi telah melawati berbagai macam masalah yang tidak dapat dibayangkan umat manusia. Peristiwa alamiah yang merusak lingkungan sudah terjadi selama lebih ribuan tahun. Lalu mengapa kita ingin berusaha untuk menyelamatkan planet ini?
Sebuah film animasi tahun 2008 berjudul WALL-E berangkat dari isu lingkungan. Berkisah tentang WALL-E, sebuah robot compactor yang ditugaskan untuk mengompaksi sisa-sisa rongsokan yang ada di bumi. WALL-E adalah akronim untuk Waste Allocation Load Lifter- Earth Class. Satu-satunya WALL-E yang tersisa, hidup mengandalkan bagian- bagian tubuh robot yang sudah tidak berfungsi. Ia bekerja seperti biasa, ditemani peliharaannya, seekor kecoa, tanpa tahu bahwa bumi sudah tidak layak huni. WALL-E mengumpulkan rongsokan-rongsokan yang dianggapnya menarik, misalnya kaset pita, bola lampu, dan rubik, seluruh tempat tinggalnya penuh dengan barang-barang peninggalan manusia yang barangkali sudah kuno, rumah WALL-E sudah seperti kapsul waktu.
Kehidupan WALL-E yang sepi berubah ketika seorang robot bernama EVE (Extraterrestrial Vegetation Evaluator), datang untuk mencari tanda-tanda kehidupan berupa tanaman di bumi. Seketika itu juga, WALL-E jatuh cinta dengan EVE. Belum sempat WALL-E meminta satu hal yang paling diinginkannya, yaitu berpegangan tangan, EVE sudah tidak bergerak, tugasnya menemukan tanda kehidupan telah selesai saat WALL-E menunjukkan tanaman temuannya yang tumbuh pada sebuah sepatu tua. Kapal luar angkasa
yang mengantar EVE, kembali untuk mengembalikannya ke kapal induk The Axiom, tempat seluruh manusia yang masih hidup tinggal. Tentu saja dengan WALL-E yang ikut menempel di kapal luar angkasa itu karena rasa pedulinya kepada EVE.
Manusia yang masih selamat tinggal di luar angkasa, menjadi pemalas, dan menciptakan manusia yang renggang dengan lingkungan sekitarnya. Manusia yang tersisa menjadi korban dari konsumerisme. Kepedulian pada lingkungan pun muncul ketika mereka sadar bahwa dunia yang mereka tinggali hanya surga artifisial. Mereka mencoba untuk menanam satu-satunya tanaman yang tersisa dan memulai hidup yang baru, hidup berdampingan dengan alam.
Pada akhirnya, para manusia kembali ke bumi dan meninggalinya lagi. WALL-E juga mendapatkan apa yang selama ini diinginkannya, sebuah pegangan tangan.
Seirama dengan itu, film The Lorax yang diangkat dari buku cerita anak-anak berjudul sama yang dikarang oleh Dr. Seuss. Ketika seluruh pohon habis dan udara segar menjadi sebuah komoditas di kota bernama Thneedville. Sistem ekonomi yang kapitalistik membuat lingkungan buruk harus tetap ada, sehingga modal tetap terjaga.
Ted Wiggins, tokoh protagonis dalam film ini, menyukai seorang gadis bernama Audrey. Ted selalu sengaja melempar mainannya ke rumah Audrey, hanya agar dapat bertemu dengannya. Suatu hari, setelah sengaja menerbangkan pesawat mainannya agar masuk ke rumah Audrey. Dalam perbincangannya dengan Audrey, Ted mengetahui bahwa Audrey menginginkan sebuah pohon sungguhan. Dengan sebuah pernyataan bahwa Audrey akan menikahi pria yang dapat membawakannya pohon sungguhan, Ted melakukan perjalanan—dengan berbekal legenda dari neneknya tentang pohon—ke luar kota Thneedville yang dikelilingi tembok raksasa untuk bertemu dengan Once-ler, seorang mantan pengusaha sukses yang bertanggung jawab menciptakan polusi karena penebangan pohon secara brutal.
Setelah berkisah tentang masa lalunya, Once-ler memberikan benih terakhir dari pohon itu, agar dapat ditanam di tengah kota. Sampai pada akhirnya masyarakat Thneedville sadar bahwa udara segar yang dihasilkan oleh pohon layak untuk dicoba. Benih terakhir ditanam. Tanda harapan baru bagi sebuah kehidupan.
Dua film animasi tersebut memberikan harapan untuk lingkungan yang lebih baik. Tetapi, tentu saja dunia tidak bekerja seperti itu. Kembali ke dunia nyata, manusia tidak akan pernah berhenti untuk menyerap segala inti sari kehidupan sampai habis tak tersisa. Benih
terakhir hanya bualan. Tidak akan pernah ada benih terakhir yang bisa ditanam. Satu-satunya benih yang bisa ditanam oleh manusia adalah benih pikiran. Benih pikiran bahwa lingkungan harus menjadi baik. Pikiran yang menyatakan bahwa, kita tidak perlu menunggu sampai benih terakhir menjadi harapan, kita hanya harus menjaga alam selagi bisa.
Seorang aktivis lingkungan, Greta Thunberg namanya, gadis berumur 21 tahun asal Swedia. Ia mulai mengampanyekan tentang isu lingkungan sejak sekolah menengah atas. Meski mengidap suatu spektrum autisme yang bernama Sindrom Asperger, tak menghalangi jalannya untuk menyadarkan dunia bahwa perubahan iklim itu nyata dan manusia bertanggung jawab atas permasalahan itu. Ia berhasil membuat protes “Friday For Future Strikes” yang membawa ratusan ribu siswa di seluruh dunia juga bergerak memprotes
perubahan iklim.
Meski Greta berhasil membawa ratusan ribu siswa untuk ikut mengampanyekan perubahan iklim, ia tetap menjadi sasaran kritik berbagai pihak, salah satunya Donald Trump. Bagaimanapun juga, keresahan gadis itu mengenai lingkungan berasal dari hati, ia boleh tak mengerti bagaimana etika lingkungan, tetapi tetap masalah lingkungan itu nyata dan harus diperjuangkan, harus diselesaikan.
Ada juga seorang gadis dari belahan bumi yang lain, Aeshnina Azzahra Aqilani namanya, biasanya dipanggil Nina. Ia dari Gresik, Jawa Timur. Nina adalah seorang aktivis lingkungan muda, umurnya baru 16 tahun. Ia sudah sering menjadi pembicara di forum dunia untuk acara-acara mengenai lingkungan. Nina mengirimi surat ke petinggi-petinggi negara yang mengekspor sampahnya ke Indonesia. Ia mengirim surat ke Presiden Amerika Serikat, Kanselir Jerman, dan Perdana Menteri Australia. Metodenya memang berbeda dengan Greta, namun keresahannya sama-sama tulus.
Keresahannya berasal dari Sungai Brantas, yang tercemar sampah plastik dari berbagai negara, padahal sungai tersebut menjadi sumber air minum bagi masyarakatnya. Tentu Nina memprotes itu, demi kelangsungan hidup yang baik di masa depan, ia berjuang
agar negara-negara maju tak membuang sampahnya ke negara-negara berkembang.
Pertanyaanya, mengapa ada film-film seperti WALL-E dan The Lorax? Mengapa ada orang-orang seperti Greta dan Nina? Karena kita mencintai planet kita dan ingin menyelamatkan planet kita? Tidak, tentu bukan itu alasan hadirnya. Mereka hadir karena kita mencintai diri kita sendiri. Kita ingin agar manusia tetap hadir dan tidak punah. Memang kedengarannya arogan, tetapi itulah kenyataanya. Planet kita akan dan selalu mampu beregenerasi. Sedangkan manusia, manusia tidak ingin punah dan memberikan begitu saja kehidupannya yang telah ia bangun selama ribuan tahun. Walaupun jika dibandingkan dengan apa yang sudah menimpa planet kita, sebenarnya peradaban kita sangat singkat. Protes mengenai isu lingkungan rasa-rasanya hanya sebuah pernyataan palsu agar manusia merasa bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya selama ini. Padahal semua itu bukan untuk kebaikan planet, melainkan demi kebaikan manusia itu sendiri. Demi manusia yang tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri.
Maka protes-protes mengenai isu lingkungan dengan kalimat “selamatkan planet” harus direvisi dengan menambahkan beberapa kata, “selamatkan planet demi aku, kamu, dan manusia di sini”. Kita tidak memerlukan alasan-alasan besar yang hipokrit untuk membereskan masalah lingkungan. Kita hanya butuh alasan kecil yang mungkin penting untuk diri kita sendiri. Untuk mendapatkan cinta seorang gadis? Atau barangkali sekadar pegangan tangan?