
FIB Unmul Gelar Workshop Kurikulum OBE Prodi Tari, Tekankan Tiga Pilar Budaya Kaltim dan Multikultu
Samarinda, 6 Mei 2024 – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Mulawarman menyelenggarakan Workshop Kurikulum Outcome Based Education (OBE) untuk Program Studi Tari pada Selasa (6/5), bertempat di Gedung Masjaya Universitas Mulawarman. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari kalangan pemerintah, komunitas seni, hingga pelaku budaya, sebagai bagian dari upaya memperkuat landasan akademik Prodi Tari dalam kerangka budaya Kalimantan Timur dan visi multikultural Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dekan FIB, Prof. Dr. M. Bahri Arifin, M.Hum., dalam sambutannya menegaskan bahwa FIB terus mendorong semangat kebersamaan sebagai unsur penguat dalam keberagaman. "FIB berupaya menjadi pilar utama penyangga multikulturalisme di IKN. Melalui Prodi Tari dan program studi lain di Fakultas Ilmu Budaya, kami berharap dapat mewariskan dan mengembangkan kekayaan budaya Kalimantan Timur," ujarnya. Ia juga menyampaikan rencana pembukaan beberapa program studi baru di Fakultas Ilmu Budaya seperti S1 bahasa dan budaya Korea, S1 Musik, S2 Linguistik, dan S2 Kajian Budaya. Sehingga membutuhkan dukungan lebih lanjut dari para stakeholder.
Kepala Program Studi Tari, Eka Yusriansyah, M.Hum., menjelaskan bahwa kurikulum OBE Prodi Tari dirancang berdasarkan tiga pilar budaya Kalimantan Timur, yaitu budaya pedalaman, pesisir, dan kesultanan. Terdapat 145 sks yang telah disusun, terdiri atas teori dan prakti. Penyusunan kurikulum dilakukan melalui lokakarya internal dan koordinasi dengan Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M).
Dalam sesi diskusi, Ketua LP2M Unmul, Prof. Widi, menyoroti pentingnya keterkaitan antara kurikulum Prodi Tari dengan visi Unmul sebagai universitas berbasis hutan tropis lembab. Ia juga menekankan perlunya dokumen pendukung untuk keperluan akreditasi serta integrasi roadmap penelitian.
Ketua Dewan Adat Kutai, Awang Irwan Setiawan, menambahkan bahwa aspek sejarah harus lebih dimunculkan dalam kurikulum. Ia juga menekankan bahwa identitas budaya, khususnya dalam tari-tarian tradisional, tidak boleh dikaburkan oleh kreasi baru. "Tari tidak hanya gerakan, tetapi juga berbicara soal sejarah dan identitas," tegasnya.
Perwakilan LPMP, Aditya Irwan, memberikan masukan terkait istilah-istilah yang digunakan dalam kurikulum, seperti "pedalaman", "pesisir", dan "kesultanan" yang dinilai masih belum cukup mencerminkan karakteristik kebudayaan setempat. Ia menyarankan agar istilah-istilah tersebut dipertajam dan dikaji ulang agar lebih aplikatif dalam penyusunan mata kuliah.
Diskusi juga menyentuh pentingnya keseimbangan antara mata kuliah wajib dan pilihan. Prof. Widi menyarankan peningkatan jumlah mata kuliah pilihan agar mahasiswa memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan kompetensinya, termasuk membuka mata kuliah terkait pariwisata budaya yang hingga kini belum tersedia.
Beberapa peserta menyuarakan pentingnya representasi budaya dari luar tiga pilar, serta menjaga pakem tari dalam kurikulum prodi. Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, menyoroti perlunya menjaga nilai-nilai budaya agar tidak tenggelam oleh unsur kreasi. "Jangan sampai jurusan tari kehilangan identitasnya karena terlalu banyak kreasi tanpa dasar budaya yang kuat," ujarnya.
Menanggapi berbagai masukan, Kaprodi Tari menyatakan bahwa kurikulum akan dikaji ulang bersama para pakar dan stakeholder untuk mengakomodasi kebutuhan dan harapan masyarakat, termasuk revisi mata kuliah yang berkaitan dengan sejarah kesultanan dan tari pesisir. Mata kuliah terkait pariwisata juga akan dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam kurikulum sebagai mata kuliah pilihan atau wajib.
Workshop ini menjadi langkah strategis dalam mengokohkan arah pengembangan Prodi Tari FIB Unmul sebagai pusat kajian dan pelestarian budaya Kalimantan Timur, yang relevan dengan konteks nasional dan multikulturalisme IKN.
Dengan terselenggaranya workshop ini, FIB Unmul menegaskan posisinya sebagai pelopor pendidikan seni berbasis lokalitas di Kalimantan Timur. Kolaborasi antara akademisi, praktisi seni, lembaga adat, dan instansi pemerintah menjadi kekuatan kolektif dalam merumuskan kurikulum yang unggul secara akademik dan bermakna secara kultural. Seni bukan hanya ekspresi estetis, melainkan juga representasi sejarah, identitas, dan keberlanjutan budaya. Kurikulum Prodi Tari harus mampu mengartikulasikan semua ini dalam bahasa pendidikan tinggi.
Workshop ini berakhir pada pukul 11.00 WITA dan ditutup dengan sesi dokumentasi bersama seluruh peserta sebagai simbol sinergi dan komitmen bersama untuk mewujudkan pendidikan seni yang inklusif, adaptif, dan kontekstual.